Bioekologi, Serangan, dan
Pengendalian Hama Pada tanaman Kedelai
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Hama merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan
hasil panen kedelai. Ada 111 jenis hama kedelai yang telah diketahui di
lndonesia, beberapa di antaranya adalah hama pemakan daun. Hama pemakan daun
yang berstatus penting atau agak penting ada empat jenis yakni kumbang daun (Phaedonia inclusa Stal.), penggulung
daun (Lamprosema indicata F.),
ulat iengkal (Chrysodeixis chalcites
Curt,), dan ulat grayak Spodoptera
litura F.). Kerusakan daun akibat serangan hama pemakan daun mengganggu
proses fotosintesis yang akhirnya mengakibatkan kehilangan hasil panen.
Sampai
saat ini, pengendalian hama pemakan daun masih mengandalkan insektisida yang
diaplikasikan secara terjadual dengan frekuensi 2 minggu sekali atau lebih
tanpa memperhatikan keadaan populasi hama di lapangan. Penggunaan insektisida
menjadi berlebihan sehingga seringkali menimbulkan pengaruh samping yang
merugikan secara ekonomis dan ekologis.
Mengingat
kelemahan aplikasi insektisida terjadual tersebut, maka untuk mengendalikan
hama kedelai harus digunakan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dalam
konsep tersebut, pengendalian hama dengan insektisida merupakan salah satu
taktik yang digunakan bilamana perlu serta diintegrasikan dengan taktik
pengendalian lain. Tujuan pengendalian adalah untuk memaksimumkan keuntungan
pendapatan, targetnya adalah beberapa jenis hama, dasar yang digunakan adalah
ambang kendali hama, dan caranya adalah dengan menurunkan kepadatan populasi
hama melalui berbagai taktik pengendalian.
Dalam
konsep PHT, ada empat elemen yang mendasari komponen pengendalian hama, yakni
bioekologi, pengendalian alamiah, ambang kendali, dan teknik penarikan contoh
populasi hama. Di dalam makalah ini, keempat elemen tersebut akan dibahas
sebagai dasar untuk menentukan komponen pengendalian hama pemakan daun kedelai.
Sumber data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini diperoleh dari hasil
penelitian dan penelaahan pustaka.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui hama-hama yang menyerang
tanaman kedelai mulai dari benih sampai hama yang menyerang, praktikum ini juga
menjadi bukti hasil laporan akhir Ilmu Hama Tanaman.
1.3 Manfaat
Manfaat praktikum ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pengolahan,
penanaman, dan mengetahui hama yang menyerang tanaman kedelai.
II.
Tinjauan Pustaka
2.1
Tinjauan umum tanaman Kedelai
Biji kedelai
Kedelai
(kadang-kadang ditambah "kacang" di depan namanya) adalah salah satu
tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Berdasarkan peninggalan arkeologi, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun
yang lalu di Asia Timur. Kedelai putih
diperkenalkan ke Nusantara oleh pendatang dari
Cina sejak maraknya perdagangan dengan Tiongkok, sementara kedelai hitam sudah
dikenal lama orang penduduk setempat. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika
Serikat meskipun kedelai praktis baru
dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910.
1. Keanekaragaman dan budidaya
Kedelai
yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max
(disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih,
atau hijau) dan Glycine soja (kedelai
hitam, berbiji hitam). G. max
merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC
dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Tanaman ini telah menyebar ke Jepang, Korea, Asia
Tenggara dan Indonesia.
Beberapa kultivar
kedelai putih budidaya di Indonesia, di antaranya adalah 'Ringgit', 'Orba',
'Lokon', 'Darros', dan 'Wilis'. "Edamame" adalah sejenis kedelai
berbiji besar berwarna hijau yang belum lama dikenal di Indonesia dan berasal
dari Jepang.
Kedelai
dibudidayakan di lahan sawah maupun lahan kering (ladang). Penanaman biasanya dilakukan pada akhir musim
penghujan, setelah panen padi. Pengerjaan tanah biasanya minimal. Biji dimasukkan
langsung pada lubang-lubang yang dibuat. Biasanya berjarak 20-30cm. Pemupukan
dasar nitrogen dan fosfat diperlukan, namun setelah tanaman tumbuh penambahan
nitrogen tidak memberikan keuntungan apa pun. Lahan yang belum pernah ditanami kedelai dianjurkan diberi
"starter" bakteri
pengikat nitrogen Bradyrhizobium japonicum untuk membantu pertumbuhan tanaman. Penugalan tanah
dilakukan pada saat tanaman remaja (fase vegetatif awal), sekaligus sebagai
pembersihan dari gulma dan tahap pemupukan fosfat kedua. Menjelang berbunga
pemupukan kalium dianjurkan walaupun banyak petani yang mengabaikan
untuk menghemat biaya.
2.2
Botani Tanaman Kedelai
Kedelai dikenal dengan berbagai nama: sojaboom, soja, soja bohne,
soybean, kedele, kacang ramang, kacang
bulu, kacang gimbol, retak mejong, kaceng bulu, kacang
jepun, dekenana, demekun, dele, kadele, kadang jepun, lebui
bawak, lawui, sarupapa tiak, dole, kadule, puwe mon, kacang kuning
(aceh) dan gadelei. Berbagai
nama ini menunjukkan bahwa kedelai telah lama dikenal di Indonesia.
Kedelai merupakan terna dikotil semusim dengan percabangan sedikit, sistem perakaran
akar tunggang, dan batang berkambium. Kedelai dapat berubah penampilan menjadi
tumbuhan setengah merambat dalam keadaan pencahayaan rendah. Kedelai, khususnya
kedelai putih dari daerah subtropik, juga merupakan tanaman hari-pendek dengan waktu kritis rata-rata 13 jam. Ia akan segera
berbunga apabila pada masa siap berbunga panjang hari kurang dari 13 jam. Ini
menjelaskan rendahnya produksi di daerah tropika, karena tanaman terlalu dini berbunga.
Biji
Biji
kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan
endosperma. Embrio terletak di antara keping biji. Warna kulit biji kuning,
hitam, hijau, coklat. Pusar biji (hilum) adalah jaringan bekas biji melekat
pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong tetapi ada pula
yang bundar atau bulat agak pipih.
Kecambah
Biji
kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Kecambah
kedelai tergolong epigeous, yaitu keping biji muncul diatas tanah. Warna
hipokotil, yaitu bagian batang kecambah dibawah kepaing, ungu atau hijau yang
berhubungan dengan warna bunga. Kedelai yang berhipokotil ungu berbunga ungu,
sedang yang berhipokotil hijau berbunga putih. Kecambah kedelai dapat digunakan
sebagai sayuran (tauge).
Perakaran
Tanaman
kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh
menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembapan tanah
turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan
air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga
120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat bertumpunya tanaman dan alat pengangkut
air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya
bintil-bintil akar. Bintil akar
tersebut berupa koloni dari bakteri
pengikat nitrogen Bradyrhizobium japonicum yang bersimbiosis secara mutualis dengan kedelai. Pada tanah yang telah
mengandung bakteri ini, bintil akar mulai terbentuk sekitar 15 – 20 hari
setelah tanam. Bakteri bintil akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara
dalam bentuk gas N2 yang kemudian dapat digunakan oleh kedelai
setelah dioksidasi menjadi nitrat (NO3).
Batang
Kedelai
berbatang memiliki tinggi 30–100 cm. Batang dapat membentuk 3 – 6 cabang,
tetapi bila jarak antar tanaman rapat, cabang menjadi berkurang, atau tidak
bercabang sama sekali. Tipe pertumbuhan batang dapat dibedakan menjadi terbatas
(determinate), tidak terbatas (indeterminate), dan setengah terbatas
(semi-indeterminate). Tipe
terbatas memiliki ciri khas berbunga serentak dan mengakhiri pertumbuhan
meninggi. Tanaman pendek sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan
batang bagian tengah, daun teratas sama besar dengan daun batang tengah. Tipe
tidak terbatas memiliki ciri berbunga secara bertahap dari bawah ke atas dan
tumbuhan terus tumbuh. Tanaman berpostur sedang sampai tinggi, ujung batang
lebih kecil dari bagian tengah. Tipe setengah terbatas memiliki karakteristik
antara kedua tipe lainnya.
Bunga
Bunga
kedelai termasuk bunga sempurna yaitu setiap bunga mempunyai alat jantan dan
alat betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup sehingga
kemungkinan kawin silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas
batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong
walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok
sebelum membentuk polong.
Buah
Buah
kedelai berbentuk polong. Setiap tanaman mampu menghasilkan 100 – 250 polong.
Polong kedelai berbulu dan berwarna kuning kecoklatan atau abu-abu. Selama
proses pematangan buah, polong yang mula-mula berwarna hijau akan berubah
menjadi kehitaman.
Daun
Pada
buku (nodus) pertama tanaman
yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada semua
buku di atasnya terbentuk daun majemuk selalu dengan tiga helai. Helai daun
tunggal memiliki tangkai pendek dan daun bertiga mempunyai tangkai agak
panjang. Masing-masing daun berbentuk oval, tipis, dan berwarna hijau.
Permukaan daun berbulu halus (trichoma) pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan
muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur,
mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang.
2.3
Teknik
budidaya
Daerah dan Waktu Penanaman
Budidaya tanaman kedelai umumnya
ditanam pada awal dan akhir musim hujan di sawah (teknis, setengah teknis dan
tadah hujan) dan lahan kering. Dengan pola tanam rotasi (tumpang gilir) dan
atau tumpangsari dengan tanaman setahun lainnya, misalnya jagung, padi, tebu
dan ketela pohon, sebagaimana banyak dijumpai di daerah Jawa Tengah, Jawa
Timur, Lampung, NTB, dan NTT.
Teknik budidaya kedelai yang dilalukakan
sebagian besar petani umumnya masih sangat sederhana, baik dalam hal pengolahan
tanah, pemupukan dan pemberantasan hama/penyakitnya, sehingga produksinya masih
relatif rendah.Sebagian besar petani tidak melakukan pengolahan tanah (TOT =
tanpa olah tanah), terutama tanah bekas padi atau tebu. Tanah hanya dibersihkan
dari je-rami padi dan daun tebu, yang selanjutnya bibit kedelai ditebar atau
ditugal terlebih dahulu untuk lubang untuk penanaman biji kedelai. Selain itu
kualitas bibitnya kurang baik, sehingga produksinya relatif rendah.
Dalam hal pemupukan, sebagian besar
petani belum melakukannya secara intensif atau semi intensif. Tidak menggunakan
pupuk sama sekali atau minim sekali jumlahnya. Demikian juga dalam hal
pemberantasan hama penyakit dapat dikatakan kurang sekali, sehingga banyak
kerugian atau rendahnya produksi akibat serangan hama penyakit. Teknik produksi
yang cukup intensif adalah sebagai berikut :
Seleksi Bibit Kedelai
Bibit yang baik adalah berukuran
besar, tidak cacat, berwarna seragam (putih, kekuning-kuningan). Jumlah bibit
antara 40 – 50 kg per ha untuk tanaman monokultur, sedangkan untuk tanaman
tumpangsari dengan jagung, yaitu 30 kg biji kedelai dan jagung 20 kg per ha.
Pengolahan Tanah
Di lahan kering dengan tanaman
tumpang sari, tanah diolah dua kali dengan alat bajak dan luku, sedangkan di
sawah dengan tanaman monokultur, tanah dibersihkan dari jerami, kemudian tanah
diolah satu kali.Untuk tanah yang pH-nya rendah, diberi kapur atau dolomit
antara 200 – 300 Kg per ha. Pada saat ini juga tanah diberi pupuk dasar, yaitu
pupuk SP-36 sebanyak 100 Kg untuk monokultur, sedangkan bila tumpang sari
dengan jagung dosisnya adalah sebanyak 200 kg – 250 kg per ha.
Penugalan Lubang
Untuk tanaman monokultur, dibuat
lubang dengan tugal dengan jarak 20 x 30 cm, sedangkan untuk tumpangsari dengan
jagung lubang untuk kedelai 30 x 30 cm dan untuk jagung 90 x 90 cm. Lubang
untuk jagung dibuat terlebih dahulu, dan setelah jagung tumbuh 2 – 3 minggu
kemudian dibuat lubang untuk kedelai.
Penanaman Kedelai
Untuk tanaman monokultur, biji
kedelai dimasukan dalam lubangang telah dibuat. Untuk tanaman tumpang sari,
biji jagung ditanam ter-lebih dahulu dan 2 – 3 minggu kemudian baru ditanam
kedelai.
Penyiangan Dan Pemupukan
Penyiangan dilakukan setelah tanaman
berumur 30 – 35 hari, dan setelah itu langsung dipupuk, yaitu untuk tanaman
monokultur dengan 50 kg urea dan 50 kg KCl. Bila kondisinya masih kurang baik,
maka penyiangan dilakukan lagi pada umur 55 hari.Sedangkan untuk tanaman
tumpangsari penyiangan dilakukan pada umur jagung 40 – 45 hari dan setelah itu
diberi pupuk sebanyak 350 kg urea dan 100 kg KCl.
Pemberantasan Penyakit
Untuk mencegah atau memberantas
hama/penyakit, maka mulai umur 25 hari dan 50 hari disemprot dengan pestisida
(karbofuran) sebanyak 5 – 10 liter.
Pengairan/Drainase
Untuk memperoleh pertumbuhan yang
baik, maka bila kekurangan air, tanaman perlu diberi pengairan, terutama pada
umur 1 – 50 hari. Demikian pula bila tanahnya terlalu banyak air, perlu adanya
drainase.
Panen
Panen kedelai dilakukan bila sebagian daunnya sudah
kering. Caranya adalah dengan mencabut batang tanaman, termasuk daunnya.
Selanjutnya dijemur dan setelah kering, batang berbuah tersebut dihamparkan
diatas tikar bambu. Kemudian dipukul-pukul agar bijinya jatuh ketikar.
Selanjutnya biji kedelai dimasukkan dalam karung.
III.
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Pengamatan
ini dilaksanakan mulai pada tanggal 28 oktober hingga 30 Desember 2011. Dan
pengamatan ini dilaksanakan di lahan praktikum depan rumah kaca Fakultas
Pertanian Universitas Jambi.
3.2 Alat dan Bahan
Alat: Cangkul, sabit, alat tulis, kamera dll
Bahan; benih kacang kedelai, benih kacang hijau, pupuk
kompos.
3.3
Pelaksanaan
Kegiatan pelaksanaan
praktikum dilakukan dengan beberapa tahap yaitu:
3.3.1 Pembersihan lahan
Dilakukan untuk menghilangkan gulma-gulma yang ada pada
lahan sebelum lahan ditanami kembali
3.3.2 Pemupukan organik
Dilakukan selama tiga minggu
berturut-turut setelah dan termaksud menjadi salah satu kegiatan pengolahan
lahan.
3.3.3 Penanaman
Pada kegitan praktikum ini
penanaman dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2011.
3.3.4 Pengendalian gulma
Pengendalian gulma diadakan
pada 11 Oktober 2010 dengan mencabuti gulma yang tumbuh disekitar tanaman
kedelai. Pada
hari yang sama juga diadakan pengamatan tanaman yang pertumbuhannya lambat,
dilakukannya pemilihan tanaman dan 2 tanaman/lubang.
3.3.5 Pengamatan hama
Pengamatan
pada hama yang menyerang tanaman kedelai dilaksanakan mulai 4 oktober 2011
yakni minggu pertama setelah penanaman dan dilanjutkan setiap minggunya pada
hari yang sama sampai pada pengamatan hama yang menyerang polong.
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
Bioekologi
dan Serangan Hama pada Tanaman Kedelai
1.
Kumbang daun kedelai
a. Peri kehidupan
Kumbang
daun kedelai, Phaedonia inclusa
Stal. (Coleoptera, Chrysomelidae) berbentuk hampir speris, kepala dan pronotum
berwarna coklat-kemerahan, dan elytra berwarna hitam-kebiruan dengan bagian
tepi sempit berwarna coklat kekuningan. Elytra panjangnya 4 - 5 mm. Pakan
umumnya berupa daun yang telah membentang sempurna. Perkembangan serangga ini
berlangsung selama 3 - 4 minggu. Stadium kumbang berlangsung selama 4 bulan.
Pada keadaan tanaman tidak tumbuh, kumbang mampu bertahan hidup hingga 5 buian.
Kumbang ini bergerak lambat dan jarang terbang. Itulah sebabnya, kumbang ini
menyebar secara pasif setelah panenan melalui transportasi daun.
Produksi
telur berkisar antara 200 - 250 butir. Telur biasanya diletakkan secara
berkelompok sebanyak 2 - 18 butir di permukaan bawah helaian daun. Telur
berwarna kuning muda, bentuknya agak melengkung dengan ujung bulat, panjangnya
1 1/3 mm dan lebarnya 1/3 mm. Stadium telur berlangsung selama 4 hari.
Larva
pada mulanya berwarna abu-abu gelap kemudian berubah menjadi agak muda. Larva
dilengkapi dengan tubercula dan setae yang hitam, bentuknya agak melengkung
dengan abdomen tebal, panjangnya mencapai 5 mm. Selama beberapa hari pertama,
larva tinggal pada daun, tempat telur diletakkan, kemudian segera merayap ke puncak
batang, bunga, dan polong. Larva tua sering memakan tangkai daun. Stadium larva
terdiri atas 5 instar, berlangsung selama 8 hari.
Pupa
terbentuk di dalam rongga tanah dekat permukaan tanah. Pupa menjadi kumbang
setelah berumur seminggu.
Kelembaban
merupakan faktor penentu dalam perkembangan serangga ini. Lembab nisbi optimum
yang dibutuhkan oleh kumbang untuk meletakkan telur berkisar antara 60-80%. Hal
ini mungkin merupakan salah satu faktor mengapa kumbang daun kedelai menjadi
hama penting di daerah beriklim kering.
b. Perilaku merusak
Kumbang hadir di pertanaman sejak kecambah muncul ke
permukaan tanah hingga tanaman masih memiliki daun atau polong muda. Kumbang
dan larva merusak pucuk, daun muda, tangkai daun muda, bunga dan polong muda.
Tanaman kedelai yang diserang larva maupun kumbang mengalami perompesan
sehingga mengakibatkan penurunan hasil panen. Serangan hama pada tanaman muda
mengakibatkan tanaman mati, serangan pada tanaman stadium pembungaan
mengakibatkan jumlah bunga dan polong berkurang, dan serangan pada stadia
perkembangan polong dan biii mengakibatkan jumlah polong dan kualitas biji
berkurang.
c. Daerah sebaran dan
fluktuasi serangan
Daerah
sebaran kumbang daun meluas di Sumatera bagian Selatan, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Sulawesi Utara. Rerata luas serangan kumbang daun selama kurun waktu
10 tahun (1978 - 1987) 3.309 ha/tahun dengan daerah serangan utamanya adalah
Lampung, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara. Ketiga propinsi tersebut merupakan
daerah penghasil utama kedelai sehingga memungkinkan teriadinya serangan yang
lebih luas daripada propinsi lain.
Hasil
survei pada tahun 1987 di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi
Utara menunjukkan bahwa populasi kumbang daun relatif rendah. Hal ini diduga
karena penggunaan insektisida secara intensif dan perubahan pola tanam di
daerah tersebut. Sifat hama yang rentan terhadap insekisida dan tidak
tersedianya tanaman pakan, akan menghambat perkembangbiakan hama sehingga
memberikan peluang terjadinya perubahan status hama, dari penting menjadi
kurang penting.
2.
Ulat penggulung daun
a.
Perikehidupan
Ulat
penggulung daun, Lamprosema (Omyodes)
indicata F. (Lepidoptera, Pyralidae) memiliki inang tanaman kedelai dan
berbagai jenis kacang-kacangan lainnya. Ciri khas ulat ini adalah terdapatnya
dua bercak hitam pada kedua sisi prothorax.
Sesuai dengan namanya, ulat berdiam didalam gulungan daun.
Gulungan daun mulai dibentuk oleh ulat muda pada bagian pucuk, tempat telur
diletakkan. Setelah tumbuh menjadi lebih besar, ulat berpindah ke daun yang
lebih tua. Gulungan daun dibentuk dengan cara merekatkan daun satu dengan
lainnya dari sisi dalam dengan semacam zat perekat yang dikeluarkan oleh ulat
yang bersangkutan. Bila gulungan daun dibuka, akan dijumpai ulat berwarna hijau
transparan yang bergerak cepat. Selama berdiam di dalam gulungan daun, ulat
memakan daun sehingga tampak hanya tulang daunnya saja yang tersisa. Kepompong
dibentuk di dalam gulungan daun tersebut. Kupu-kupu yang terbentuk berukuran
kecil dan berwarna coklat kekuningan.
b. Daerah sebaran dan fluktuasi
populasl
Daerah
sebaran hama ini meluas hampir diseluruh lndonesia. Hama ini dijumpai di 13
propinsi dengan rerata luas serangan 3563 ha/tahun. Daerah serangan utamanya
adalah Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara .
Hasil pengamatan dinamika populasi ulat penggulung daun pada
tahun 1987 di Yogyakarta menunjukkan bahwa serangga ini dapat dijumpai pada
penanaman kedelai sejak berumur 24 hari setelah tanam (HST). Puncak populasinya
terjadi pada tanaman berumur 37 dan 58 HST (Gambar 1), Perbedaan puncak
populasi selama 21 hari menunjukkan bahwa dalam satu musim tanam terjadi dua
generasi,
3.
Ulat jengkal
a.
Peri kehidupan
Ulat
jengkal, Chrysodeixis chalcites
Esp. (Lepidoptera, Noctuidae) berwarna hijau dan bergerak seperti menjengkal.
Ulat tua memiliki ciri khas, yakni adanya tungkai palsu sebanyak tiga pasang
dan garis lateral berwarna pucat sebanyak tiga pasang yang membujur dari
mesonotum hingga ujung abdomen. Tubuh ulat menyempit pada bagian apikal dengan kepala
kecil. Tubuh ulat ini apabiia direntangkan, panjangnya 3 cm. Stadium ulat
terdiri atas lima instar, umur ulat berlangsung selama 14-19 hari dengan rerata
16,2 hari (14).
Kepompong
berwarna hijau muda yang berangsur-angsur menjadi putih-kecoklatan. Kepompong
dibentuk di daun, ditutupi oleh rumah kepompong (kokon). Stadium kepompong
berlangsung selama 6-11 hari dengan rerata 6,8 hari (14).
Stadium ngengat berlangsung selama 5 – 12 hari dengan rerata
8,5. Ngengat meletakkan telur pada umur 4 – 12 hari. Produksi telur mencapai
1250 butir per ekor ngengat betina. Telur diletakkan secara individual di
permukaan bawah helaian daun. St pada umur 4 – 12 hari. Stadium telur
berlangsung selama 3 - 4 hari dengan rerata 3,2 hari (14). Daur hidup ulat
jengkal dari tetur hingga ngengat bertelur berlangsung selama 30 hari.
b.
Perilaku merusak, sebaran, dan fluktuasi populasi
Ulat
jengkal menyerang tanaman muda dan tua dengan gejala serangan berupa
perompesan, baik sebagian dengan masih tersisanya tulang daun, maupun total. Di
samping memakan daun, ulat juga sering memakan polong muda.
Ulat
jengkal memiliki inang berupa tanaman kedelai dan beberapa tanaman pangan
lainnya, sesayuran, dan gulma selain rerumputan. Karena sifatnya yang polifag
tersebut, maka daerah sebarannya meluas di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (15).
Hama
ini dijumpai di 14 propinsi dengan rerata luas serangan 5.005 ha/tahun. Daerah
serangan utamanya adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara
(10).
Hasil
pengamatan dinamika populasi ulat jengkal pada tahun 1987 di Yogyakarta
menunjukkan bahwa serangga ini mulai hadir pada pertanaman berumur 44 HST, dan
puncak populasinya terjadi pada 51 HST (Gambar 1). Kenyataan ini menunjukkan
bahwa dalam satu musim hanya dijumpai satu generasi (12).
4. Ulat grayak
a.
Peri kehidupan
Ulat
grayak, Spodoptera litura F.
(Lepidoptera, Noctuidae) memiliki ciri khas, yakni terdapatnya dua buah bintik
hitam berbentuk seperti bulan sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas ke
empat dan ke sepuluh yang dibatasi oleh garis-garis lateral dan dorsal berwarna
kuning yang membujur sepanjang badan (15).
Setelah
telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan,
Beberapa hari kemudian, ulat tersebut berpencaran, Ulat tua bersembunyi di
dalam tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Stadium
ulat terdiri atas enam instar dan berlangsung selama 13 - 17 hari dengan rerata
14 hari (18).
Kepompong
terbentuk di dalam rongga-rongga dalam tanah di dekat permukaan tanah. Stadium
kepompong berlangsung selama 7 - 10 hari dengan rerata 8,5 hari. Stadium
ngengat berlangsung selama 1 - 13 hari dengan rerata 9,3 hari.
Ngengat
meletakkan telur pada umur 2 - 6 hari. Produksi telur dapat mencapai 3000 butir
per induk betina, tersusun atas 11 kelompok dengan rerata 350 butir per
kelompok. Telur diletakkan berkelompok dan ditutupi oleh bulu-bulu halus
berwarna coklat kemerahan. Stadium telur berlangsung selama 3 - 5 hari dengan
rerata 3 hari (15, 18). Daur hidup ulat grayak dari telur hingga ngengat
bertelur berlangsung selama 28 hari.
Penelitian tentang laju pertumbuhan intrinsik ulat grayak
telah dilakukan pada tahun 1989 di Mojosari, Jawa Timur dengan cara mengukur
peluang hidup dan kepridian ulat grayak pada tanaman kedelai (4). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peluang hidup dari telur hingga ulat instar I, awal
kepompong, dan awal ngengat, masing-masing sebesar 94%, 15%, dan 11%. Lama
stadia telur, ulat, kepompong, dan ngengat, masing-masing sekitar 2, 16, 9, dan
9 hari. Jumlah keturunan betina per ekor ngengat betina sebanyak 707 ekor,
terbanyak terjadi pada peneluran hari kedua, yakni 233 ekor. Masa prapeneluran,
peneluran, dan pasca peneluran, masing-masing berlangsung selama 2, 6, dan 1
hari (Gambar 2).
Berdasarkan data peluang hidup dan kepridian ulat grayak
tersebut di atas, maka beberapa parameter pertumbuhan ulat grayak dapat
ditentukan. Laju pertumbuhan intrinsik (r) sebanyak 0,134 ekor/hari. Nilai r
ini sebagian besar ditentukan oleh banyaknya telur yang dihasilkan selama 4 hari
pertama kehidupan ngengat. Laiu reproduksi bersih (Ro) sebanyak 68,8
kali/generasi, masa generasi (T) berlangsung selama 31,8 hari, laju pertumbuhan
terbatas (A) sebesar 1,14 kali/hari, lalu kelahiran dan laju kematian,
masing-masing sebesar 0,283 dan 0,149. Proporsi stadium pradewasa (telur, ulat,
dan kepompong) sebesar 99,3%, sedangkan stadium dewasa (ngengat) sebesar 0,7%.
Berdasarkan nilai r= 0,134, maka model laju pertumbuhan populasi dalam
lingkungan tak terbatas dinyatakan dengan regresi eksponensial: Nt =
N0 e0,134 t. Jika ada sepasang ngengat pada waktu t,
sebulan kemudian populasi akan meningkat menjadi 56 pasang.
b.
Perilaku merusak
Ulat
grayak muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis
atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua juga merusak tulang-tulang daun
sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun. Di samping memakan daun,
ulat juga memakan polong muda.
Ulat grayak memiliki kemampuan makan besar, Selama periode
ulat instar VI yang berlangsung selama 2,5 hari, ulat dengan kemampuan makan
sebesar 184 cm2/ekor mampu menghabiskan satu tanaman stadium V2 yang
berumur 15 HST (3).
c.
Sebaran dan fluktuasi populasi
Ulat
grayak merupakan salah satu hama penting pada tanaman kedelai. Di samping
kedelai, serangga ini juga menjelang beberapa tanaman pangan lainnya,
sesayuran, tanaman industri, dan gulma. Daerah sebaran populasi ulat grayak
meluas di seluruh lndonesia, Di pulau Jawa, sebarannya beragam dari waktu ke
waktu, tetapi selalu ditemukan pada sepanjang tahun. Keragaman ini disebabkan
oleh kemampuan migrasinya yang tinggi dan sifatnya yang polifag sehingga mampu
bertahan hidup pada berbagai tanaman (28).
Hama
ini dijumpai di 22 propinsi dengan rerata luas serangan 11.163 ha/tahun. Daerah
serangan utamanya adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
dan Sulawesi Utara (10).
Hasil pengamatan mengenai perkembangan populasi ngengat
jantan pada tahun 1983 di beberapa lokasi di Jawa Timur menunjukkan bahwa
puncak penerbangan populasi ngengat terjadi pada akhir Juli, awal Oktober, dan
awal November (Gambar 3) (6). Untuk menghindari risiko kehilangan hasil panen,
pemantauan populasi ulat grayak pada bulan-bulan tersebut harus diintensifkan.
Hasil pengamatan dinamika populasi ngengat jantan pada tahun
1987 di Yogyakarta menunjukkan bahwa serangga ini mulai dijumpai pada tanaman
berumur 24 HST. Populasi ulat kemudian tumbuh dan mencapai puncaknya pada 38
HST. Populasi ulat meningkat kembali untuk kedua kalinya pada 73 HST, saat
tanaman menjelang akhir pengisian polong (Gambar 1). Perbedaan puncak popuiasi
selama 34 hari ini menunjukkan bahwa dalam satu musim tanam, terjadi dua
generasi (12). Berdasarkan hasil pengamatan di atas, maka pemantauan populasi
ulat grayak pada 38 HST atau selama stadium pembungaan harus diintensifkan.
PENGENDALIAN
ALAMIAH HAMA TANAMAN KEDELAI
1. Faktor pengendali populasi
Dalam
suatu ekosistem pertanaman kedelai, hama sebagai salah satu komponen biotik
berinteraksi intra dan interspesifik, juga dengan komponen fisik. Apabila
komponen-komponen tersebut tidak mengalami perubahan permanen, maka populasi
hama cenderung berfluktuasi dalam keadaan seimbang.
Fluktuasi
populasi hama dalam keadaan seimbang diatur oleh musuh alami yang berfungsi
menurunkan populasi hama ketika kepadatan populasi hama tinggi, dan kurang
menurunkan populasi hama ketika kepadatan populasi hama rendah.
Peranan
musuh alami dapat ditingkatkan dengan memanipulasi lingkungan sedemikian rupa
sehingga menguntungkan musuh alami untuk bertahan hidup. Usaha tersebut
dilakukan, antara lain dengan mengatur penggunaan insektisida sebijaksana
mungkin.
Usaha manusia meningkatkan produksi, misalnya dengan
membentuk sistem pertanaman monokultur secara terus-menerus dapat mengurangi
keragaman jenis organisme sehingga menyebabkan keseimbangan alami terganggu.
Akibatnya, faktor pengendali populasi hama menjadi berkurang sehingga
memberikan lingkungan yang menguntungkan bagi peningkatan populasi hama. Oleh
karena itu, apabila musuh alami tidak dapat bekerja menurunkan populasi hama ke
keadaan seimbang, maka faktor-faktor seperti ketahanan varietas tanaman, teknik
budidaya, iklim, dan insektisida dapat bertindak sebagai pengendali populasi
hama.
2.
Peranan musuh alami
Penelitian
tentang peranan musuh alami ulat grayak pada berbagai kondisi pertanaman
kedelai telah dilakukan pada MK 1989 di Mojosari, Jawa Timur (5). Hasilnya
menunjukkan bahwa kemampuan bertahan hidup ulat grayak pada pertanaman yang
diaplikasi dengan insektisida lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak
diaplikasi insektisida (Gambar 4). Penggunaan insektisida secara intensif pada
pertanaman yang diaplikasi insektisida mengurangi banyaknya jenis dan populasi
musuh alami (Tabel 1) sehingga musuh alami kurang mampu berperan sebagai
pengendali populasi ulat grayak. Akibatnya, peluang populasi ulat untuk
meningkat menjadi lebih besar.
Tindakan pengendalian dengan insekisida terbukti menurunkan
banyaknya jenis dan jumlah musuh alami. Oleh karena itu, insektisida seharusnya
digunakan bilamana perlu dengan jenis dan dosis insektisida, serta waktu dan
cara yang cocok. Dengan demikian, pelestarian musuh alami sebagai agen
pengendali alamiah ulat grayak dapat dijamin.
KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TANAMAN KEDELAI
Di dalam konsep PHT, berbagai komponen pengendalian yang
saling mendukung dipilih kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan program
sehingga dapat digunakan dalam mengendalikan hama. Komponen pengendalian yang
dapat diterapkan untuk mengatasi hama pemakan daun kedelai, antara lain
pengaturan pola tanam, teknik bercocok tanam, pemanfaatan musuh alami,
pengendalian fisik/mekanis dan penggunaan insekisida. Komponen ketahanan
varietas tanaman hingga kini belum dapat diterapkan meskipun peluangnya ada.
1.
Pengaturan pola tanam
Pengaturan pola tanam dimaksudkan untuk menciptakan
lingkungan yang kurang menguntungkan bagi hama untuk bertahan hidup, tumbuh,
dan bereproduksl. Pengendalian hama dengan cara ini biasanya kurang memuaskan
karena sifatnya hanya mengurangi populasi hama. Meskipun demikian, cara ini
menguntungkan karena menciptakan lingkungan yang relatif stabil dan hasilnya
tidak beragam, seperti yang dihasilkan bila menggunakan insektisida saja.
Pengaturan pola tanam meliputi pergiliran tanaman, waktu tanam, dan tanam
serentak (35).
a.
Pergiliran tanaman
Pengaturan
pergiliran tanaman dimaksudkan untuk memutuskan rantai pakan hama daun. Untuk
maksud tersebut, penanaman kedelai hendaknya digilir dengan tanaman bukan jenis
kacang-kacangan atau tanaman inang lainnya.
Pengaturan pergiliran tanaman cocok untuk mengendalikan
kumbang daun dan penggulung daun, tetapi kurang cocok untuk ulat jengkal dan
ulat grayak. Masalahnya adalah bahwa kedua jenis hama pemakan daun ini memiliki
banyak inang pengganti, antara lain beberapa jenis rerumputan sehingga mampu
bertahan hidup, meskipun pada tingkat yang relatif rendah.
b.
Waktu tanam
Pengaturan
waktu tanam dimaksudkan untuk menghindarkan masa kritis tanaman dari serangan
hama. Hasil pengamatan populasi ngengat ulat grayak (Gambar 3) menunjukkan
bahwa puncak penerbangan populasi ngengat terjadi pada akhir Juli, awal Oktober
dan awal Nopember. Hal ini berarti bahwa penanaman kedelai berulang pada MK II
memberikan peluang yang lebih besar bagi hama pemakan daun untuk bertahan hidup
dan berkembang biak sehingga mengakibatkan luas serangan yang relatii tinggi.
Penanaman kedelai sebaiknya dilakukan sekali setahun,
setelah panen padi. Kedelai yang ditanam pada waktu tersebut relatif terlindung
dari serangan hama pemakan daun karena selama musim tanam padi, pakan tidak
tersedia dengan cukup. Kedelai yang ditanam untuk kedua kalinya, umumnya
terserang oleh hama karena selama musim tanam kedelai pertama, pakan tersedia
dengan cukup.
c.
Tanam serentak
Pengaturan tanam serentak dimaksudkan agar tidak terjadi
tumpang tindih generasi hama. Penanaman kedelai yang terlambat dari sekitarnya
memberikan peluang yang lebih besar bagi populasi hama pemakan daun untuk
meningkat, terutama apabila pertanaman kedelai sebelumnya telah mendekati masa
panen. Oleh karena itu, dengan bertanam serentak, risiko kerugian per satuan
luas dapat diperkecil. Tanam serentak sebaiknya dilakukan dengan selisih waktu
tanam tidak lebih dari 10 hari, meliputi areal yang luas, sekurang-kurangnya 1 WKPP
(1 WKPP = 600 – 1000 ha) (11).
2.
Teknik bercocok tanam
Pengaturan
teknik bercocok tanam dimaksudkan agar pertumbuhan tanaman dan hasil panen
menjadi optimal. Kedelai yang ditanam sesuai dengan anjuran agronomis akan
tumbuh subur, ditandai dengan daun yang rimbun, sedangkan yang kurang subur,
daunnya jarang. Apabila terjadi serangan hama pemakan daun pada pertanaman yang
subur, kerusakan daun yang ditimbulkannya relatif lebih rendah daripada
pertanaman yang kurang subur.
Pengaturan teknik bercocok tanam dapat pula digunakan untuk
menghambat perkembangan populasi hama, misalnya pengaturan jarak tanam,
penggenangan, dan sanitasi. Kedelai yang ditanam secara beralur lebih mudah
dalam melaksanakan pengamatan, penyemprotan, dan penyiangan jika dibandingkan
dengan yang ditanam tanpa beralur. Kedelai yang digenangi pada stadia tertentu
selain mempercepat proses pertumbuhan tanaman dan pengisian serta pemasakan
biji, juga dapat digunakan untuk mengendalikan ulat grayak. Pada siang hari,
sebagian besar peri kehidupan ulat berada di dekat permukaan tanah karena tidak
tahan terhadap sengatan sinar surya. Apabila lahan digenangi, ulat merayap ke
bagian atas tanaman sehingga pertumbuhannya terganggu dan memudahkan dalam
melaksanakan pengendalian mekanis dengan penjumputan. Sanitasi lingkungan untuk
memberantas gulma dapat dipadukan dengan penjumputan ulat dan kepompong yang
berdiam diri di permukaan tanah.
3.
Pemanfaatan musuh alami
Ada
tiga cara untuk memanfaatkan musuh alami, yakni (a) melestarikan dan
meningkatkan musuh alami yang telah ada dengan memanipulasi lingkungan sehingga
menguntungkan kemampuan bertahan hidupnya, (b) mengimpor dan melepaskan musuh
alami untuk mengendalikan hama pendatang maupun penetap, dan (c) membiakkan
secara masal dan melepaskan musuh alami.
Menurul
Sosromarsono, usaha memanfaatkan musuh alami pada pertanaman kedelai dapat
dilakukan, antara lain dengan membiakkan secara masal musuh alami yang efektif
kemudian melepaskannya secara periodik dalam jumlah besar (inundasi) di
lapangan. Di samping itu, karena berbagai predator dan parasitoid stadium
dewasa membutuhkan pakan tambahan berupa nektar, tepung sari, dan embun madu,
maka tanaman yang memproduksi bahan tersebut sebaiknya ditanam di sekitar
pertanaman kedelai.
Informasi
mengenai musuh alami hama kumbang daun dan penggulung daun belum dilaporkan.
Musuh alami ulat jengkal terdiri atas beberapa jenis parasit, yakni Copidosomopsis (Hymenoptera,
Encytidae) dan Apenteles
(Hymenoptera, Bramnidae).
Hasil
survei pada MK 1989 di Mojosari, Jawa Timur menunjukkan bahwa ulat grayak
memiliki berbagai jenis musuh alami, tetapi yang penting dan banyak dijumpai di
lapangan, terdiri atas 8 jenis predator, 3 jenis parasitoid, dan 2 jenis
patogen. Kedelapan jenis predator adalah kumbang Paederus fuscipes Curt.
(Coleoptera, Staphyilinidae), laba-laba Lycosa
pseudoannulata Boes et Str. (Araneae, Lycosidae), Oxyopes javanus Thorell (Araneae,
Oxyopidae) dan Phidippus sp.
(Araneae, Salticidae), semut api Solenopsis
geminata Fabr. (Hymenoptera, Formicidae), Euborellia stali Dohrn (Dermaptera, Carcinophoridae), kinjeng Agriocnemis sp. (Odonata,
Coenagrionidae), dan capung Crocothemis
sp. (Odonata, Libellulidae).
Jenis
parasitoid ulat grayak adalah lebah Snellenius
manilae Ashmed (Hymenoptera, Braconidae) yang muncul dari ulat, dan
lalat Megoselia scalaris Loew
(Diptera, Phoridae) dan Peribaea
orbata Wied (Diptera, Tachinidae) yang muncul dari kepompong (5,36),
sedangkan jenis patogen ulat grayak adalah Borrelinavirus litura dan Bacillus
thuringiensis Berlinen.
Kemampuan
memangsa ulat instar I - III di antara kedelapan predator tersebut beragam;
terbesar diperoleh pada E. Stali
dan P. fuscipes masing-masing
sebanyak 22 dan 14 ekor/hari, sedangkan kemampuan memparasitasi S. manilae terhadap ulat instar I -
III sekitar 41% (5).
Berdasarkan
dominansi jenis musuh alami dan daya predasi dan parasitasi di atas, maka musuh
alami ulat grayak yang penting adalah predator E. stali dan P.
fuscipes, serta parasit S.
manilae. Jenis-jenis musuh alami tersebut patut diperhitungkan sebagai
salah satu komponen pengendaiian ulat grayak.
Penelitian tentang pemanfaatan patogen NPV (nuclear polyhedrosis virus) untuk
mengendalikan ulat grayak telah dilakukan pada tahun 1987 di Bogor. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa NPV dengan konsentrasi sebesar 2,3 X 107
PIBs/ml dengan volume semprot sebanyak 500 l/ha terbukti mempan untuk
mengendalikan ulat grayak instar I - III. Saat aplikasi NPV yang cocok adalah
sore hari, mengingat perilaku ulat yang aktif di malam hari, dan sifat NPV yang
rentan terhadap sengatan sinar surya (2). Kenyataan tersebut membuka peluang
baru bagi terciptanya pengendalian hayati ulat grayak dengan NPV, terutama
untuk daerah-daerah yang ulat grayaknya tahan terhadap insektisida.
4.
Pengendalian fisik dan mekanis
Pengendalian fisik dan mekanls merupakan cara yang langsung
atau tidak langsung mematikan serangga, mengganggu fisiologi serangga dengan
cara yang berbeda dengan insektisida, atau merubah lingkungan menjadi tidak
menguntungkan bagi serangga hama. Cara ini kurang populer karena informasi
tentang bioekologi serangga tidak cukup tersedia. Oleh karena itu, peranannya
di dalam PHT relatif kecil dan harus dipadukan dengan cara lain. Cara fisik dan
mekanis dianjurkan untuk mengendalikan hama pemakan daun pada stadium yang
relatif tahan terhadap insektisida dan pada populasi yang belum memencar dengan
cara memungut dan memusnahkannya.
5.
Penggunaan varietas tahan hama
Pengendalian
hama dengan cara ini merupakan cara yang mudah dan murah bagi petani, serta
aman bagi lingkungan. Akan tetapi, sampai saat ini cara tersebut belum dapat
diterapkan untuk mengendalikan hama pemakan daun karena belum diperoleh
keterangan tentang varietas tahan.
Hasi
penelitian pada tahun 1989/90 di Bogor menunjukkan bahwa varietas/galur Soden,
Himeshirazu, Lokon, No. 29, Akidatsu, S/887-46, S/887-96, S/887-39, dan
S/887-51 berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan kepridian ulat grayak. Hal
ini ditunjukkan oleh beberapa sifat biologis ulat grayak, seperti yang tampak
pada Tabel 7.
Hasil
penelitian pada tahun 1986 di Taiwan menunjukkan bahwa ada 4 varietas
introduksi dari Amerika Serikat memiliki sifat tahan dengan tingkat antibiosis
yang berbeda terhadap berbagai jenis hama pemakan daun, yakni PI 171444, PI
171451, PI 227687, dan PI 229358, Di antara keempat varietas tersebut, yang
memiliki sifat antibiosis yang stabil dan kuat terhadap ulat grayak adalah PI
171444 (27).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka
varietas/galur yang telah teruji tahan, dapat dijadikan sumber ketahanan
terhadap hama pemakan daun. Hal ini berarti terbuka peluang bagi penciptaan
varietas tahan terhadap berbagai jenis hama pemakan daun, terutama ulat grayak
di Indonesia.
6.
Penggunaan insektisida
Pengendalian
hama daun kedelai sampai saat ini masih tertumpu pada insektisida. Cara ini
dipilih karena mudah dilaksanakan, ampuh, dan hasilnya cepat diketahui. Di
samping menguntungkan, penggunaan insektisida sering menimbulkan dampak
merugikan, baik secara ekonomis maupun ekologis, apabila diaplikasikan secara
tidak bijaksana.
Di
dalam konsep PHT, penggunaan insektisida merupakan salah satu cara yang
terakhir dipilih, dan apabila hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain.
Tujuannya adalah untuk menurunkan populasi hama di bawah AK. Aplikasi
insektisida haruslah tepat jenis, tepat sasaran, tepat dosis, tepat sasaran,
tepat waktu, dan tepat cara, serta dilaksanakan bilamana diperlukan. Di samping
itu, aplikasi insektisida memperhatikan stadia/instar yang rentan terhadap
insektisida, dan tingkat ketahanannya di lapangan.
Aplikasi
insektisida yang tidak sesuai dengan anjuran dapat menimbulkan dampak yang
merugikan. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi insektisida dengan dosis
sublethal dapat menimbulkan risurjensi hama pemakan daun. Hal ini dibuktikan
dari hasil pengujian pada tahun 1979-1981 di Bogor yang menunjukkan bahwa
piridapention, karbaril dan pentoat mempertinggi keperidian dan banyaknya telur
yang menetas (14).
Hasil
penelitian tentang kerentanan ulat grayak terhadap berbagai jenis insektisida
yang dikoleksi pada tahun 1987 dari daerah Bogor Garut dan Lampung menunjukkan
bahwa koloni Garut lebih tahan terhadap diazinon dan karbaril jika dibandingkan
dengan koloni Lampung (Sutrisno dalam
13). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa di antara koloni ulat grayak terjadi
perbedaan tingkat ketahanan terhadap insektisida. Fakor penyebab terjadinya
perbedaan tersebut belum diketahui secara pasti, diduga karena aplikasi
insektisida sejenis yang terus-menerus di lapangan. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, maka perlu ditentukan cara pengelolaan insektisida pada
pertanaman kedelai.
lnsektisida-insekisida yang dapat digunakan dalam
mengendalikan hama daun kedelai cukup banyak, baik dari golongan organofosfat,
karbamat, maupun sintetik peritroid.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil pembahasan makalah Hama Penting Tanaman kacang-kacangan
Famili Fabaceae dapat disimpulkan sebagai berikut:
Untuk melakukan pengendalian terhadap hama-hama penting tanaman
sayuran sebaiknya tidak menggunakan pengendalain secara kimia yang menggunakan
pestisida, karena akan meninggalkan residu pada kacang tersebut. Residu
pestisida tersebut akan berbahaya bagi kesehatan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar