Rabu, 26 Desember 2012

Bioekologi, Serangan, dan Pengendalian Hama Pada tanaman Kedelai


Bioekologi, Serangan, dan Pengendalian Hama Pada tanaman  Kedelai

I.                  PENDAHULUAN

1.1   Latar belakang
Hama merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan hasil panen kedelai. Ada 111 jenis hama kedelai yang telah diketahui di lndonesia, beberapa di antaranya adalah hama pemakan daun. Hama pemakan daun yang berstatus penting atau agak penting ada empat jenis yakni kumbang daun (Phaedonia inclusa Stal.), penggulung daun (Lamprosema indicata F.), ulat iengkal (Chrysodeixis chalcites Curt,), dan ulat grayak Spodoptera litura F.). Kerusakan daun akibat serangan hama pemakan daun mengganggu proses fotosintesis yang akhirnya mengakibatkan kehilangan hasil panen.
Sampai saat ini, pengendalian hama pemakan daun masih mengandalkan insektisida yang diaplikasikan secara terjadual dengan frekuensi 2 minggu sekali atau lebih tanpa memperhatikan keadaan populasi hama di lapangan. Penggunaan insektisida menjadi berlebihan sehingga seringkali menimbulkan pengaruh samping yang merugikan secara ekonomis dan ekologis.
Mengingat kelemahan aplikasi insektisida terjadual tersebut, maka untuk mengendalikan hama kedelai harus digunakan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dalam konsep tersebut, pengendalian hama dengan insektisida merupakan salah satu taktik yang digunakan bilamana perlu serta diintegrasikan dengan taktik pengendalian lain. Tujuan pengendalian adalah untuk memaksimumkan keuntungan pendapatan, targetnya adalah beberapa jenis hama, dasar yang digunakan adalah ambang kendali hama, dan caranya adalah dengan menurunkan kepadatan populasi hama melalui berbagai taktik pengendalian.
Dalam konsep PHT, ada empat elemen yang mendasari komponen pengendalian hama, yakni bioekologi, pengendalian alamiah, ambang kendali, dan teknik penarikan contoh populasi hama. Di dalam makalah ini, keempat elemen tersebut akan dibahas sebagai dasar untuk menentukan komponen pengendalian hama pemakan daun kedelai. Sumber data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini diperoleh dari hasil penelitian dan penelaahan pustaka.

1.2 Tujuan
            Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui hama-hama yang menyerang tanaman kedelai mulai dari benih sampai hama yang menyerang, praktikum ini juga menjadi bukti hasil laporan akhir Ilmu Hama Tanaman.
1.3 Manfaat
            Manfaat praktikum ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pengolahan, penanaman, dan mengetahui hama yang menyerang tanaman kedelai.























II.               Tinjauan Pustaka
2.1            Tinjauan umum tanaman Kedelai
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/fc/Soybeanvarieties.jpg/250px-Soybeanvarieties.jpg
Biji kedelai
Kedelai (kadang-kadang ditambah "kacang" di depan namanya) adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Berdasarkan peninggalan arkeologi, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu di Asia Timur. Kedelai putih diperkenalkan ke Nusantara oleh pendatang dari Cina sejak maraknya perdagangan dengan Tiongkok, sementara kedelai hitam sudah dikenal lama orang penduduk setempat. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910.
1.      Keanekaragaman dan budidaya
Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Tanaman ini telah menyebar ke Jepang, Korea, Asia Tenggara dan Indonesia.
Beberapa kultivar kedelai putih budidaya di Indonesia, di antaranya adalah 'Ringgit', 'Orba', 'Lokon', 'Darros', dan 'Wilis'. "Edamame" adalah sejenis kedelai berbiji besar berwarna hijau yang belum lama dikenal di Indonesia dan berasal dari Jepang.
Kedelai dibudidayakan di lahan sawah maupun lahan kering (ladang). Penanaman biasanya dilakukan pada akhir musim penghujan, setelah panen padi. Pengerjaan tanah biasanya minimal. Biji dimasukkan langsung pada lubang-lubang yang dibuat. Biasanya berjarak 20-30cm. Pemupukan dasar nitrogen dan fosfat diperlukan, namun setelah tanaman tumbuh penambahan nitrogen tidak memberikan keuntungan apa pun. Lahan yang belum pernah ditanami kedelai dianjurkan diberi "starter" bakteri pengikat nitrogen Bradyrhizobium japonicum untuk membantu pertumbuhan tanaman. Penugalan tanah dilakukan pada saat tanaman remaja (fase vegetatif awal), sekaligus sebagai pembersihan dari gulma dan tahap pemupukan fosfat kedua. Menjelang berbunga pemupukan kalium dianjurkan walaupun banyak petani yang mengabaikan untuk menghemat biaya.

2.2 Botani Tanaman Kedelai
Kedelai dikenal dengan berbagai nama: sojaboom, soja, soja bohne, soybean, kedele, kacang ramang, kacang bulu, kacang gimbol, retak mejong, kaceng bulu, kacang jepun, dekenana, demekun, dele, kadele, kadang jepun, lebui bawak, lawui, sarupapa tiak, dole, kadule, puwe mon, kacang kuning (aceh) dan gadelei. Berbagai nama ini menunjukkan bahwa kedelai telah lama dikenal di Indonesia.          
Kedelai merupakan terna dikotil semusim dengan percabangan sedikit, sistem perakaran akar tunggang, dan batang berkambium. Kedelai dapat berubah penampilan menjadi tumbuhan setengah merambat dalam keadaan pencahayaan rendah. Kedelai, khususnya kedelai putih dari daerah subtropik, juga merupakan tanaman hari-pendek dengan waktu kritis rata-rata 13 jam. Ia akan segera berbunga apabila pada masa siap berbunga panjang hari kurang dari 13 jam. Ini menjelaskan rendahnya produksi di daerah tropika, karena tanaman terlalu dini berbunga.


Biji
Biji kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endosperma. Embrio terletak di antara keping biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, coklat. Pusar biji (hilum) adalah jaringan bekas biji melekat pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong tetapi ada pula yang bundar atau bulat agak pipih.
Kecambah
Biji kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Kecambah kedelai tergolong epigeous, yaitu keping biji muncul diatas tanah. Warna hipokotil, yaitu bagian batang kecambah dibawah kepaing, ungu atau hijau yang berhubungan dengan warna bunga. Kedelai yang berhipokotil ungu berbunga ungu, sedang yang berhipokotil hijau berbunga putih. Kecambah kedelai dapat digunakan sebagai sayuran (tauge).
Perakaran
Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembapan tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat bertumpunya tanaman dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil-bintil akar. Bintil akar tersebut berupa koloni dari bakteri pengikat nitrogen Bradyrhizobium japonicum yang bersimbiosis secara mutualis dengan kedelai. Pada tanah yang telah mengandung bakteri ini, bintil akar mulai terbentuk sekitar 15 – 20 hari setelah tanam. Bakteri bintil akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang kemudian dapat digunakan oleh kedelai setelah dioksidasi menjadi nitrat (NO3).
Batang
Kedelai berbatang memiliki tinggi 30–100 cm. Batang dapat membentuk 3 – 6 cabang, tetapi bila jarak antar tanaman rapat, cabang menjadi berkurang, atau tidak bercabang sama sekali. Tipe pertumbuhan batang dapat dibedakan menjadi terbatas (determinate), tidak terbatas (indeterminate), dan setengah terbatas (semi-indeterminate). Tipe terbatas memiliki ciri khas berbunga serentak dan mengakhiri pertumbuhan meninggi. Tanaman pendek sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah, daun teratas sama besar dengan daun batang tengah. Tipe tidak terbatas memiliki ciri berbunga secara bertahap dari bawah ke atas dan tumbuhan terus tumbuh. Tanaman berpostur sedang sampai tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah. Tipe setengah terbatas memiliki karakteristik antara kedua tipe lainnya.
Bunga
Bunga kedelai termasuk bunga sempurna yaitu setiap bunga mempunyai alat jantan dan alat betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong.
Buah
Buah kedelai berbentuk polong. Setiap tanaman mampu menghasilkan 100 – 250 polong. Polong kedelai berbulu dan berwarna kuning kecoklatan atau abu-abu. Selama proses pematangan buah, polong yang mula-mula berwarna hijau akan berubah menjadi kehitaman.
Daun
Pada buku (nodus) pertama tanaman yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada semua buku di atasnya terbentuk daun majemuk selalu dengan tiga helai. Helai daun tunggal memiliki tangkai pendek dan daun bertiga mempunyai tangkai agak panjang. Masing-masing daun berbentuk oval, tipis, dan berwarna hijau. Permukaan daun berbulu halus (trichoma) pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang.





2.3            Teknik budidaya
Daerah dan Waktu Penanaman
Budidaya tanaman kedelai umumnya ditanam pada awal dan akhir musim hujan di sawah (teknis, setengah teknis dan tadah hujan) dan lahan kering. Dengan pola tanam rotasi (tumpang gilir) dan atau tumpangsari dengan tanaman setahun lainnya, misalnya jagung, padi, tebu dan ketela pohon, sebagaimana banyak dijumpai di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, NTB, dan NTT.
Teknik budidaya kedelai yang dilalukakan sebagian besar petani umumnya masih sangat sederhana, baik dalam hal pengolahan tanah, pemupukan dan pemberantasan hama/penyakitnya, sehingga produksinya masih relatif rendah.Sebagian besar petani tidak melakukan pengolahan tanah (TOT = tanpa olah tanah), terutama tanah bekas padi atau tebu. Tanah hanya dibersihkan dari je-rami padi dan daun tebu, yang selanjutnya bibit kedelai ditebar atau ditugal terlebih dahulu untuk lubang untuk penanaman biji kedelai. Selain itu kualitas bibitnya kurang baik, sehingga produksinya relatif rendah.
Dalam hal pemupukan, sebagian besar petani belum melakukannya secara intensif atau semi intensif. Tidak menggunakan pupuk sama sekali atau minim sekali jumlahnya. Demikian juga dalam hal pemberantasan hama penyakit dapat dikatakan kurang sekali, sehingga banyak kerugian atau rendahnya produksi akibat serangan hama penyakit. Teknik produksi yang cukup intensif adalah sebagai berikut :
Seleksi Bibit Kedelai
Bibit yang baik adalah berukuran besar, tidak cacat, berwarna seragam (putih, kekuning-kuningan). Jumlah bibit antara 40 – 50 kg per ha untuk tanaman monokultur, sedangkan untuk tanaman tumpangsari dengan jagung, yaitu 30 kg biji kedelai dan jagung 20 kg per ha.
Pengolahan Tanah
Di lahan kering dengan tanaman tumpang sari, tanah diolah dua kali dengan alat bajak dan luku, sedangkan di sawah dengan tanaman monokultur, tanah dibersihkan dari jerami, kemudian tanah diolah satu kali.Untuk tanah yang pH-nya rendah, diberi kapur atau dolomit antara 200 – 300 Kg per ha. Pada saat ini juga tanah diberi pupuk dasar, yaitu pupuk SP-36 sebanyak 100 Kg untuk monokultur, sedangkan bila tumpang sari dengan jagung dosisnya adalah sebanyak 200 kg – 250 kg per ha.
Penugalan Lubang
Untuk tanaman monokultur, dibuat lubang dengan tugal dengan jarak 20 x 30 cm, sedangkan untuk tumpangsari dengan jagung lubang untuk kedelai 30 x 30 cm dan untuk jagung 90 x 90 cm. Lubang untuk jagung dibuat terlebih dahulu, dan setelah jagung tumbuh 2 – 3 minggu kemudian dibuat lubang untuk kedelai.
Penanaman Kedelai
Untuk tanaman monokultur, biji kedelai dimasukan dalam lubangang telah dibuat. Untuk tanaman tumpang sari, biji jagung ditanam ter-lebih dahulu dan 2 – 3 minggu kemudian baru ditanam kedelai.
Penyiangan Dan Pemupukan
Penyiangan dilakukan setelah tanaman berumur 30 – 35 hari, dan setelah itu langsung dipupuk, yaitu untuk tanaman monokultur dengan 50 kg urea dan 50 kg KCl. Bila kondisinya masih kurang baik, maka penyiangan dilakukan lagi pada umur 55 hari.Sedangkan untuk tanaman tumpangsari penyiangan dilakukan pada umur jagung 40 – 45 hari dan setelah itu diberi pupuk sebanyak 350 kg urea dan 100 kg KCl.
Pemberantasan Penyakit
Untuk mencegah atau memberantas hama/penyakit, maka mulai umur 25 hari dan 50 hari disemprot dengan pestisida (karbofuran) sebanyak 5 – 10 liter.


Pengairan/Drainase
Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik, maka bila kekurangan air, tanaman perlu diberi pengairan, terutama pada umur 1 – 50 hari. Demikian pula bila tanahnya terlalu banyak air, perlu adanya drainase.
Panen
Panen kedelai dilakukan bila sebagian daunnya sudah kering. Caranya adalah dengan mencabut batang tanaman, termasuk daunnya. Selanjutnya dijemur dan setelah kering, batang berbuah tersebut dihamparkan diatas tikar bambu. Kemudian dipukul-pukul agar bijinya jatuh ketikar. Selanjutnya biji kedelai dimasukkan dalam karung.















III.           METODE PRAKTIKUM
3.1  Waktu dan Tempat
            Pengamatan ini dilaksanakan mulai pada tanggal 28 oktober hingga 30 Desember 2011. Dan pengamatan ini dilaksanakan di lahan praktikum depan rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

3.2  Alat dan Bahan
Alat: Cangkul, sabit, alat tulis, kamera dll
Bahan; benih kacang kedelai, benih kacang hijau, pupuk kompos.
3.3 Pelaksanaan
            Kegiatan pelaksanaan praktikum dilakukan dengan beberapa tahap yaitu:
3.3.1 Pembersihan lahan
Dilakukan untuk menghilangkan gulma-gulma yang ada pada lahan sebelum lahan ditanami kembali
3.3.2 Pemupukan organik
Dilakukan selama tiga minggu berturut-turut setelah dan termaksud menjadi salah satu kegiatan pengolahan lahan.
3.3.3 Penanaman
Pada kegitan praktikum ini penanaman dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2011.


3.3.4 Pengendalian gulma
Pengendalian gulma diadakan pada 11 Oktober 2010 dengan mencabuti gulma yang tumbuh disekitar tanaman kedelai. Pada hari yang sama juga diadakan pengamatan tanaman yang pertumbuhannya lambat, dilakukannya pemilihan tanaman dan 2 tanaman/lubang.

3.3.5 Pengamatan hama
            Pengamatan pada hama yang menyerang tanaman kedelai dilaksanakan mulai 4 oktober 2011 yakni minggu pertama setelah penanaman dan dilanjutkan setiap minggunya pada hari yang sama sampai pada pengamatan hama yang menyerang polong.



















IV.  Hasil dan Pembahasan
4.1  Hasil
Bioekologi dan Serangan Hama pada Tanaman Kedelai
1. Kumbang daun kedelai
a. Peri kehidupan
Kumbang daun kedelai, Phaedonia inclusa Stal. (Coleoptera, Chrysomelidae) berbentuk hampir speris, kepala dan pronotum berwarna coklat-kemerahan, dan elytra berwarna hitam-kebiruan dengan bagian tepi sempit berwarna coklat kekuningan. Elytra panjangnya 4 - 5 mm. Pakan umumnya berupa daun yang telah membentang sempurna. Perkembangan serangga ini berlangsung selama 3 - 4 minggu. Stadium kumbang berlangsung selama 4 bulan. Pada keadaan tanaman tidak tumbuh, kumbang mampu bertahan hidup hingga 5 buian. Kumbang ini bergerak lambat dan jarang terbang. Itulah sebabnya, kumbang ini menyebar secara pasif setelah panenan melalui transportasi daun.
Produksi telur berkisar antara 200 - 250 butir. Telur biasanya diletakkan secara berkelompok sebanyak 2 - 18 butir di permukaan bawah helaian daun. Telur berwarna kuning muda, bentuknya agak melengkung dengan ujung bulat, panjangnya 1 1/3 mm dan lebarnya 1/3 mm. Stadium telur berlangsung selama 4 hari.
Larva pada mulanya berwarna abu-abu gelap kemudian berubah menjadi agak muda. Larva dilengkapi dengan tubercula dan setae yang hitam, bentuknya agak melengkung dengan abdomen tebal, panjangnya mencapai 5 mm. Selama beberapa hari pertama, larva tinggal pada daun, tempat telur diletakkan, kemudian segera merayap ke puncak batang, bunga, dan polong. Larva tua sering memakan tangkai daun. Stadium larva terdiri atas 5 instar, berlangsung selama 8 hari.
Pupa terbentuk di dalam rongga tanah dekat permukaan tanah. Pupa menjadi kumbang setelah berumur seminggu.
Kelembaban merupakan faktor penentu dalam perkembangan serangga ini. Lembab nisbi optimum yang dibutuhkan oleh kumbang untuk meletakkan telur berkisar antara 60-80%. Hal ini mungkin merupakan salah satu faktor mengapa kumbang daun kedelai menjadi hama penting di daerah beriklim kering.

b. Perilaku merusak
Kumbang hadir di pertanaman sejak kecambah muncul ke permukaan tanah hingga tanaman masih memiliki daun atau polong muda. Kumbang dan larva merusak pucuk, daun muda, tangkai daun muda, bunga dan polong muda. Tanaman kedelai yang diserang larva maupun kumbang mengalami perompesan sehingga mengakibatkan penurunan hasil panen. Serangan hama pada tanaman muda mengakibatkan tanaman mati, serangan pada tanaman stadium pembungaan mengakibatkan jumlah bunga dan polong berkurang, dan serangan pada stadia perkembangan polong dan biii mengakibatkan jumlah polong dan kualitas biji berkurang.

c.  Daerah sebaran dan fluktuasi serangan
Daerah sebaran kumbang daun meluas di Sumatera bagian Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara. Rerata luas serangan kumbang daun selama kurun waktu 10 tahun (1978 - 1987) 3.309 ha/tahun dengan daerah serangan utamanya adalah Lampung, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara. Ketiga propinsi tersebut merupakan daerah penghasil utama kedelai sehingga memungkinkan teriadinya serangan yang lebih luas daripada propinsi lain.
Hasil survei pada tahun 1987 di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Utara menunjukkan bahwa populasi kumbang daun relatif rendah. Hal ini diduga karena penggunaan insektisida secara intensif dan perubahan pola tanam di daerah tersebut. Sifat hama yang rentan terhadap insekisida dan tidak tersedianya tanaman pakan, akan menghambat perkembangbiakan hama sehingga memberikan peluang terjadinya perubahan status hama, dari penting menjadi kurang penting.

2. Ulat penggulung daun
a. Perikehidupan
Ulat penggulung daun, Lamprosema (Omyodes) indicata F. (Lepidoptera, Pyralidae) memiliki inang tanaman kedelai dan berbagai jenis kacang-kacangan lainnya. Ciri khas ulat ini adalah terdapatnya dua bercak hitam pada kedua sisi prothorax.
Sesuai dengan namanya, ulat berdiam didalam gulungan daun. Gulungan daun mulai dibentuk oleh ulat muda pada bagian pucuk, tempat telur diletakkan. Setelah tumbuh menjadi lebih besar, ulat berpindah ke daun yang lebih tua. Gulungan daun dibentuk dengan cara merekatkan daun satu dengan lainnya dari sisi dalam dengan semacam zat perekat yang dikeluarkan oleh ulat yang bersangkutan. Bila gulungan daun dibuka, akan dijumpai ulat berwarna hijau transparan yang bergerak cepat. Selama berdiam di dalam gulungan daun, ulat memakan daun sehingga tampak hanya tulang daunnya saja yang tersisa. Kepompong dibentuk di dalam gulungan daun tersebut. Kupu-kupu yang terbentuk berukuran kecil dan berwarna coklat kekuningan.

b. Daerah sebaran dan fluktuasi populasl
Daerah sebaran hama ini meluas hampir diseluruh lndonesia. Hama ini dijumpai di 13 propinsi dengan rerata luas serangan 3563 ha/tahun. Daerah serangan utamanya adalah Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara .
Hasil pengamatan dinamika populasi ulat penggulung daun pada tahun 1987 di Yogyakarta menunjukkan bahwa serangga ini dapat dijumpai pada penanaman kedelai sejak berumur 24 hari setelah tanam (HST). Puncak populasinya terjadi pada tanaman berumur 37 dan 58 HST (Gambar 1), Perbedaan puncak populasi selama 21 hari menunjukkan bahwa dalam satu musim tanam terjadi dua generasi,

3. Ulat jengkal
a. Peri kehidupan
Ulat jengkal, Chrysodeixis chalcites Esp. (Lepidoptera, Noctuidae) berwarna hijau dan bergerak seperti menjengkal. Ulat tua memiliki ciri khas, yakni adanya tungkai palsu sebanyak tiga pasang dan garis lateral berwarna pucat sebanyak tiga pasang yang membujur dari mesonotum hingga ujung abdomen. Tubuh ulat menyempit pada bagian apikal dengan kepala kecil. Tubuh ulat ini apabiia direntangkan, panjangnya 3 cm. Stadium ulat terdiri atas lima instar, umur ulat berlangsung selama 14-19 hari dengan rerata 16,2 hari (14).
Kepompong berwarna hijau muda yang berangsur-angsur menjadi putih-kecoklatan. Kepompong dibentuk di daun, ditutupi oleh rumah kepompong (kokon). Stadium kepompong berlangsung selama 6-11 hari dengan rerata 6,8 hari (14).
Stadium ngengat berlangsung selama 5 – 12 hari dengan rerata 8,5. Ngengat meletakkan telur pada umur 4 – 12 hari. Produksi telur mencapai 1250 butir per ekor ngengat betina. Telur diletakkan secara individual di permukaan bawah helaian daun. St pada umur 4 – 12 hari. Stadium telur berlangsung selama 3 - 4 hari dengan rerata 3,2 hari (14). Daur hidup ulat jengkal dari tetur hingga ngengat bertelur berlangsung selama 30 hari.

b. Perilaku merusak, sebaran, dan fluktuasi populasi
Ulat jengkal menyerang tanaman muda dan tua dengan gejala serangan berupa perompesan, baik sebagian dengan masih tersisanya tulang daun, maupun total. Di samping memakan daun, ulat juga sering memakan polong muda.
Ulat jengkal memiliki inang berupa tanaman kedelai dan beberapa tanaman pangan lainnya, sesayuran, dan gulma selain rerumputan. Karena sifatnya yang polifag tersebut, maka daerah sebarannya meluas di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (15).
Hama ini dijumpai di 14 propinsi dengan rerata luas serangan 5.005 ha/tahun. Daerah serangan utamanya adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara (10).
Hasil pengamatan dinamika populasi ulat jengkal pada tahun 1987 di Yogyakarta menunjukkan bahwa serangga ini mulai hadir pada pertanaman berumur 44 HST, dan puncak populasinya terjadi pada 51 HST (Gambar 1). Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam satu musim hanya dijumpai satu generasi (12).

4. Ulat grayak
a. Peri kehidupan
Ulat grayak, Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) memiliki ciri khas, yakni terdapatnya dua buah bintik hitam berbentuk seperti bulan sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas ke empat dan ke sepuluh yang dibatasi oleh garis-garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur sepanjang badan (15).
Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, Beberapa hari kemudian, ulat tersebut berpencaran, Ulat tua bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Stadium ulat terdiri atas enam instar dan berlangsung selama 13 - 17 hari dengan rerata 14 hari (18).
Kepompong terbentuk di dalam rongga-rongga dalam tanah di dekat permukaan tanah. Stadium kepompong berlangsung selama 7 - 10 hari dengan rerata 8,5 hari. Stadium ngengat berlangsung selama 1 - 13 hari dengan rerata 9,3 hari.
Ngengat meletakkan telur pada umur 2 - 6 hari. Produksi telur dapat mencapai 3000 butir per induk betina, tersusun atas 11 kelompok dengan rerata 350 butir per kelompok. Telur diletakkan berkelompok dan ditutupi oleh bulu-bulu halus berwarna coklat kemerahan. Stadium telur berlangsung selama 3 - 5 hari dengan rerata 3 hari (15, 18). Daur hidup ulat grayak dari telur hingga ngengat bertelur berlangsung selama 28 hari.
Penelitian tentang laju pertumbuhan intrinsik ulat grayak telah dilakukan pada tahun 1989 di Mojosari, Jawa Timur dengan cara mengukur peluang hidup dan kepridian ulat grayak pada tanaman kedelai (4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang hidup dari telur hingga ulat instar I, awal kepompong, dan awal ngengat, masing-masing sebesar 94%, 15%, dan 11%. Lama stadia telur, ulat, kepompong, dan ngengat, masing-masing sekitar 2, 16, 9, dan 9 hari. Jumlah keturunan betina per ekor ngengat betina sebanyak 707 ekor, terbanyak terjadi pada peneluran hari kedua, yakni 233 ekor. Masa prapeneluran, peneluran, dan pasca peneluran, masing-masing berlangsung selama 2, 6, dan 1 hari (Gambar 2).

Berdasarkan data peluang hidup dan kepridian ulat grayak tersebut di atas, maka beberapa parameter pertumbuhan ulat grayak dapat ditentukan. Laju pertumbuhan intrinsik (r) sebanyak 0,134 ekor/hari. Nilai r ini sebagian besar ditentukan oleh banyaknya telur yang dihasilkan selama 4 hari pertama kehidupan ngengat. Laiu reproduksi bersih (Ro) sebanyak 68,8 kali/generasi, masa generasi (T) berlangsung selama 31,8 hari, laju pertumbuhan terbatas (A) sebesar 1,14 kali/hari, lalu kelahiran dan laju kematian, masing-masing sebesar 0,283 dan 0,149. Proporsi stadium pradewasa (telur, ulat, dan kepompong) sebesar 99,3%, sedangkan stadium dewasa (ngengat) sebesar 0,7%. Berdasarkan nilai r= 0,134, maka model laju pertumbuhan populasi dalam lingkungan tak terbatas dinyatakan dengan regresi eksponensial: Nt = N0 e0,134 t. Jika ada sepasang ngengat pada waktu t, sebulan kemudian populasi akan meningkat menjadi 56 pasang.

b. Perilaku merusak
Ulat grayak muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua juga merusak tulang-tulang daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun. Di samping memakan daun, ulat juga memakan polong muda.
Ulat grayak memiliki kemampuan makan besar, Selama periode ulat instar VI yang berlangsung selama 2,5 hari, ulat dengan kemampuan makan sebesar 184 cm2/ekor mampu menghabiskan satu tanaman stadium V2 yang berumur 15 HST (3).

c.  Sebaran dan fluktuasi populasi
Ulat grayak merupakan salah satu hama penting pada tanaman kedelai. Di samping kedelai, serangga ini juga menjelang beberapa tanaman pangan lainnya, sesayuran, tanaman industri, dan gulma. Daerah sebaran populasi ulat grayak meluas di seluruh lndonesia, Di pulau Jawa, sebarannya beragam dari waktu ke waktu, tetapi selalu ditemukan pada sepanjang tahun. Keragaman ini disebabkan oleh kemampuan migrasinya yang tinggi dan sifatnya yang polifag sehingga mampu bertahan hidup pada berbagai tanaman (28).
Hama ini dijumpai di 22 propinsi dengan rerata luas serangan 11.163 ha/tahun. Daerah serangan utamanya adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara (10).
Hasil pengamatan mengenai perkembangan populasi ngengat jantan pada tahun 1983 di beberapa lokasi di Jawa Timur menunjukkan bahwa puncak penerbangan populasi ngengat terjadi pada akhir Juli, awal Oktober, dan awal November (Gambar 3) (6). Untuk menghindari risiko kehilangan hasil panen, pemantauan populasi ulat grayak pada bulan-bulan tersebut harus diintensifkan.
Hasil pengamatan dinamika populasi ngengat jantan pada tahun 1987 di Yogyakarta menunjukkan bahwa serangga ini mulai dijumpai pada tanaman berumur 24 HST. Populasi ulat kemudian tumbuh dan mencapai puncaknya pada 38 HST. Populasi ulat meningkat kembali untuk kedua kalinya pada 73 HST, saat tanaman menjelang akhir pengisian polong (Gambar 1). Perbedaan puncak popuiasi selama 34 hari ini menunjukkan bahwa dalam satu musim tanam, terjadi dua generasi (12). Berdasarkan hasil pengamatan di atas, maka pemantauan populasi ulat grayak pada 38 HST atau selama stadium pembungaan harus diintensifkan.

PENGENDALIAN ALAMIAH  HAMA TANAMAN  KEDELAI

1. Faktor pengendali populasi
Dalam suatu ekosistem pertanaman kedelai, hama sebagai salah satu komponen biotik berinteraksi intra dan interspesifik, juga dengan komponen fisik. Apabila komponen-komponen tersebut tidak mengalami perubahan permanen, maka populasi hama cenderung berfluktuasi dalam keadaan seimbang.
Fluktuasi populasi hama dalam keadaan seimbang diatur oleh musuh alami yang berfungsi menurunkan populasi hama ketika kepadatan populasi hama tinggi, dan kurang menurunkan populasi hama ketika kepadatan populasi hama rendah.
Peranan musuh alami dapat ditingkatkan dengan memanipulasi lingkungan sedemikian rupa sehingga menguntungkan musuh alami untuk bertahan hidup. Usaha tersebut dilakukan, antara lain dengan mengatur penggunaan insektisida sebijaksana mungkin.
Usaha manusia meningkatkan produksi, misalnya dengan membentuk sistem pertanaman monokultur secara terus-menerus dapat mengurangi keragaman jenis organisme sehingga menyebabkan keseimbangan alami terganggu. Akibatnya, faktor pengendali populasi hama menjadi berkurang sehingga memberikan lingkungan yang menguntungkan bagi peningkatan populasi hama. Oleh karena itu, apabila musuh alami tidak dapat bekerja menurunkan populasi hama ke keadaan seimbang, maka faktor-faktor seperti ketahanan varietas tanaman, teknik budidaya, iklim, dan insektisida dapat bertindak sebagai pengendali populasi hama.

2. Peranan musuh alami
Penelitian tentang peranan musuh alami ulat grayak pada berbagai kondisi pertanaman kedelai telah dilakukan pada MK 1989 di Mojosari, Jawa Timur (5). Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan bertahan hidup ulat grayak pada pertanaman yang diaplikasi dengan insektisida lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak diaplikasi insektisida (Gambar 4). Penggunaan insektisida secara intensif pada pertanaman yang diaplikasi insektisida mengurangi banyaknya jenis dan populasi musuh alami (Tabel 1) sehingga musuh alami kurang mampu berperan sebagai pengendali populasi ulat grayak. Akibatnya, peluang populasi ulat untuk meningkat menjadi lebih besar.
Tindakan pengendalian dengan insekisida terbukti menurunkan banyaknya jenis dan jumlah musuh alami. Oleh karena itu, insektisida seharusnya digunakan bilamana perlu dengan jenis dan dosis insektisida, serta waktu dan cara yang cocok. Dengan demikian, pelestarian musuh alami sebagai agen pengendali alamiah ulat grayak dapat dijamin.







KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TANAMAN  KEDELAI

Di dalam konsep PHT, berbagai komponen pengendalian yang saling mendukung dipilih kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan program sehingga dapat digunakan dalam mengendalikan hama. Komponen pengendalian yang dapat diterapkan untuk mengatasi hama pemakan daun kedelai, antara lain pengaturan pola tanam, teknik bercocok tanam, pemanfaatan musuh alami, pengendalian fisik/mekanis dan penggunaan insekisida. Komponen ketahanan varietas tanaman hingga kini belum dapat diterapkan meskipun peluangnya ada.

1. Pengaturan pola tanam

Pengaturan pola tanam dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi hama untuk bertahan hidup, tumbuh, dan bereproduksl. Pengendalian hama dengan cara ini biasanya kurang memuaskan karena sifatnya hanya mengurangi populasi hama. Meskipun demikian, cara ini menguntungkan karena menciptakan lingkungan yang relatif stabil dan hasilnya tidak beragam, seperti yang dihasilkan bila menggunakan insektisida saja. Pengaturan pola tanam meliputi pergiliran tanaman, waktu tanam, dan tanam serentak (35).

a. Pergiliran tanaman

Pengaturan pergiliran tanaman dimaksudkan untuk memutuskan rantai pakan hama daun. Untuk maksud tersebut, penanaman kedelai hendaknya digilir dengan tanaman bukan jenis kacang-kacangan atau tanaman inang lainnya.
Pengaturan pergiliran tanaman cocok untuk mengendalikan kumbang daun dan penggulung daun, tetapi kurang cocok untuk ulat jengkal dan ulat grayak. Masalahnya adalah bahwa kedua jenis hama pemakan daun ini memiliki banyak inang pengganti, antara lain beberapa jenis rerumputan sehingga mampu bertahan hidup, meskipun pada tingkat yang relatif rendah.



b. Waktu tanam

Pengaturan waktu tanam dimaksudkan untuk menghindarkan masa kritis tanaman dari serangan hama. Hasil pengamatan populasi ngengat ulat grayak (Gambar 3) menunjukkan bahwa puncak penerbangan populasi ngengat terjadi pada akhir Juli, awal Oktober dan awal Nopember. Hal ini berarti bahwa penanaman kedelai berulang pada MK II memberikan peluang yang lebih besar bagi hama pemakan daun untuk bertahan hidup dan berkembang biak sehingga mengakibatkan luas serangan yang relatii tinggi.
Penanaman kedelai sebaiknya dilakukan sekali setahun, setelah panen padi. Kedelai yang ditanam pada waktu tersebut relatif terlindung dari serangan hama pemakan daun karena selama musim tanam padi, pakan tidak tersedia dengan cukup. Kedelai yang ditanam untuk kedua kalinya, umumnya terserang oleh hama karena selama musim tanam kedelai pertama, pakan tersedia dengan cukup.

c.  Tanam serentak

Pengaturan tanam serentak dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih generasi hama. Penanaman kedelai yang terlambat dari sekitarnya memberikan peluang yang lebih besar bagi populasi hama pemakan daun untuk meningkat, terutama apabila pertanaman kedelai sebelumnya telah mendekati masa panen. Oleh karena itu, dengan bertanam serentak, risiko kerugian per satuan luas dapat diperkecil. Tanam serentak sebaiknya dilakukan dengan selisih waktu tanam tidak lebih dari 10 hari, meliputi areal yang luas, sekurang-kurangnya 1 WKPP (1 WKPP = 600 – 1000 ha) (11).

2. Teknik bercocok tanam

Pengaturan teknik bercocok tanam dimaksudkan agar pertumbuhan tanaman dan hasil panen menjadi optimal. Kedelai yang ditanam sesuai dengan anjuran agronomis akan tumbuh subur, ditandai dengan daun yang rimbun, sedangkan yang kurang subur, daunnya jarang. Apabila terjadi serangan hama pemakan daun pada pertanaman yang subur, kerusakan daun yang ditimbulkannya relatif lebih rendah daripada pertanaman yang kurang subur.
Pengaturan teknik bercocok tanam dapat pula digunakan untuk menghambat perkembangan populasi hama, misalnya pengaturan jarak tanam, penggenangan, dan sanitasi. Kedelai yang ditanam secara beralur lebih mudah dalam melaksanakan pengamatan, penyemprotan, dan penyiangan jika dibandingkan dengan yang ditanam tanpa beralur. Kedelai yang digenangi pada stadia tertentu selain mempercepat proses pertumbuhan tanaman dan pengisian serta pemasakan biji, juga dapat digunakan untuk mengendalikan ulat grayak. Pada siang hari, sebagian besar peri kehidupan ulat berada di dekat permukaan tanah karena tidak tahan terhadap sengatan sinar surya. Apabila lahan digenangi, ulat merayap ke bagian atas tanaman sehingga pertumbuhannya terganggu dan memudahkan dalam melaksanakan pengendalian mekanis dengan penjumputan. Sanitasi lingkungan untuk memberantas gulma dapat dipadukan dengan penjumputan ulat dan kepompong yang berdiam diri di permukaan tanah.

3. Pemanfaatan musuh alami
Ada tiga cara untuk memanfaatkan musuh alami, yakni (a) melestarikan dan meningkatkan musuh alami yang telah ada dengan memanipulasi lingkungan sehingga menguntungkan kemampuan bertahan hidupnya, (b) mengimpor dan melepaskan musuh alami untuk mengendalikan hama pendatang maupun penetap, dan (c) membiakkan secara masal dan melepaskan musuh alami.
Menurul Sosromarsono, usaha memanfaatkan musuh alami pada pertanaman kedelai dapat dilakukan, antara lain dengan membiakkan secara masal musuh alami yang efektif kemudian melepaskannya secara periodik dalam jumlah besar (inundasi) di lapangan. Di samping itu, karena berbagai predator dan parasitoid stadium dewasa membutuhkan pakan tambahan berupa nektar, tepung sari, dan embun madu, maka tanaman yang memproduksi bahan tersebut sebaiknya ditanam di sekitar pertanaman kedelai.
Informasi mengenai musuh alami hama kumbang daun dan penggulung daun belum dilaporkan. Musuh alami ulat jengkal terdiri atas beberapa jenis parasit, yakni Copidosomopsis (Hymenoptera, Encytidae) dan Apenteles (Hymenoptera, Bramnidae).
Hasil survei pada MK 1989 di Mojosari, Jawa Timur menunjukkan bahwa ulat grayak memiliki berbagai jenis musuh alami, tetapi yang penting dan banyak dijumpai di lapangan, terdiri atas 8 jenis predator, 3 jenis parasitoid, dan 2 jenis patogen. Kedelapan jenis predator adalah kumbang Paederus fuscipes Curt. (Coleoptera, Staphyilinidae), laba-laba Lycosa pseudoannulata Boes et Str. (Araneae, Lycosidae), Oxyopes javanus Thorell (Araneae, Oxyopidae) dan Phidippus sp. (Araneae, Salticidae), semut api Solenopsis geminata Fabr. (Hymenoptera, Formicidae), Euborellia stali Dohrn (Dermaptera, Carcinophoridae), kinjeng Agriocnemis sp. (Odonata, Coenagrionidae), dan capung Crocothemis sp. (Odonata, Libellulidae).
Jenis parasitoid ulat grayak adalah lebah Snellenius manilae Ashmed (Hymenoptera, Braconidae) yang muncul dari ulat, dan lalat Megoselia scalaris Loew (Diptera, Phoridae) dan Peribaea orbata Wied (Diptera, Tachinidae) yang muncul dari kepompong (5,36), sedangkan jenis patogen ulat grayak adalah Borrelinavirus litura dan Bacillus thuringiensis Berlinen.
Kemampuan memangsa ulat instar I - III di antara kedelapan predator tersebut beragam; terbesar diperoleh pada E. Stali dan P. fuscipes masing-masing sebanyak 22 dan 14 ekor/hari, sedangkan kemampuan memparasitasi S. manilae terhadap ulat instar I - III sekitar 41% (5).
Berdasarkan dominansi jenis musuh alami dan daya predasi dan parasitasi di atas, maka musuh alami ulat grayak yang penting adalah predator E. stali dan P. fuscipes, serta parasit S. manilae. Jenis-jenis musuh alami tersebut patut diperhitungkan sebagai salah satu komponen pengendaiian ulat grayak.
Penelitian tentang pemanfaatan patogen NPV (nuclear polyhedrosis virus) untuk mengendalikan ulat grayak telah dilakukan pada tahun 1987 di Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NPV dengan konsentrasi sebesar 2,3 X 107 PIBs/ml dengan volume semprot sebanyak 500 l/ha terbukti mempan untuk mengendalikan ulat grayak instar I - III. Saat aplikasi NPV yang cocok adalah sore hari, mengingat perilaku ulat yang aktif di malam hari, dan sifat NPV yang rentan terhadap sengatan sinar surya (2). Kenyataan tersebut membuka peluang baru bagi terciptanya pengendalian hayati ulat grayak dengan NPV, terutama untuk daerah-daerah yang ulat grayaknya tahan terhadap insektisida.


4. Pengendalian fisik dan mekanis

Pengendalian fisik dan mekanls merupakan cara yang langsung atau tidak langsung mematikan serangga, mengganggu fisiologi serangga dengan cara yang berbeda dengan insektisida, atau merubah lingkungan menjadi tidak menguntungkan bagi serangga hama. Cara ini kurang populer karena informasi tentang bioekologi serangga tidak cukup tersedia. Oleh karena itu, peranannya di dalam PHT relatif kecil dan harus dipadukan dengan cara lain. Cara fisik dan mekanis dianjurkan untuk mengendalikan hama pemakan daun pada stadium yang relatif tahan terhadap insektisida dan pada populasi yang belum memencar dengan cara memungut dan memusnahkannya.

5. Penggunaan varietas tahan hama

Pengendalian hama dengan cara ini merupakan cara yang mudah dan murah bagi petani, serta aman bagi lingkungan. Akan tetapi, sampai saat ini cara tersebut belum dapat diterapkan untuk mengendalikan hama pemakan daun karena belum diperoleh keterangan tentang varietas tahan.
Hasi penelitian pada tahun 1989/90 di Bogor menunjukkan bahwa varietas/galur Soden, Himeshirazu, Lokon, No. 29, Akidatsu, S/887-46, S/887-96, S/887-39, dan S/887-51 berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan kepridian ulat grayak. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa sifat biologis ulat grayak, seperti yang tampak pada Tabel 7.
Hasil penelitian pada tahun 1986 di Taiwan menunjukkan bahwa ada 4 varietas introduksi dari Amerika Serikat memiliki sifat tahan dengan tingkat antibiosis yang berbeda terhadap berbagai jenis hama pemakan daun, yakni PI 171444, PI 171451, PI 227687, dan PI 229358, Di antara keempat varietas tersebut, yang memiliki sifat antibiosis yang stabil dan kuat terhadap ulat grayak adalah PI 171444 (27).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka varietas/galur yang telah teruji tahan, dapat dijadikan sumber ketahanan terhadap hama pemakan daun. Hal ini berarti terbuka peluang bagi penciptaan varietas tahan terhadap berbagai jenis hama pemakan daun, terutama ulat grayak di Indonesia.

 6. Penggunaan insektisida
Pengendalian hama daun kedelai sampai saat ini masih tertumpu pada insektisida. Cara ini dipilih karena mudah dilaksanakan, ampuh, dan hasilnya cepat diketahui. Di samping menguntungkan, penggunaan insektisida sering menimbulkan dampak merugikan, baik secara ekonomis maupun ekologis, apabila diaplikasikan secara tidak bijaksana.
Di dalam konsep PHT, penggunaan insektisida merupakan salah satu cara yang terakhir dipilih, dan apabila hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain. Tujuannya adalah untuk menurunkan populasi hama di bawah AK. Aplikasi insektisida haruslah tepat jenis, tepat sasaran, tepat dosis, tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat cara, serta dilaksanakan bilamana diperlukan. Di samping itu, aplikasi insektisida memperhatikan stadia/instar yang rentan terhadap insektisida, dan tingkat ketahanannya di lapangan.
Aplikasi insektisida yang tidak sesuai dengan anjuran dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi insektisida dengan dosis sublethal dapat menimbulkan risurjensi hama pemakan daun. Hal ini dibuktikan dari hasil pengujian pada tahun 1979-1981 di Bogor yang menunjukkan bahwa piridapention, karbaril dan pentoat mempertinggi keperidian dan banyaknya telur yang menetas (14).
Hasil penelitian tentang kerentanan ulat grayak terhadap berbagai jenis insektisida yang dikoleksi pada tahun 1987 dari daerah Bogor Garut dan Lampung menunjukkan bahwa koloni Garut lebih tahan terhadap diazinon dan karbaril jika dibandingkan dengan koloni Lampung (Sutrisno dalam 13). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa di antara koloni ulat grayak terjadi perbedaan tingkat ketahanan terhadap insektisida. Fakor penyebab terjadinya perbedaan tersebut belum diketahui secara pasti, diduga karena aplikasi insektisida sejenis yang terus-menerus di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka perlu ditentukan cara pengelolaan insektisida pada pertanaman kedelai.
lnsektisida-insekisida yang dapat digunakan dalam mengendalikan hama daun kedelai cukup banyak, baik dari golongan organofosfat, karbamat, maupun sintetik peritroid.














V.               KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil pembahasan makalah Hama Penting Tanaman kacang-kacangan Famili Fabaceae dapat disimpulkan sebagai berikut:

Untuk melakukan pengendalian terhadap hama-hama penting tanaman sayuran sebaiknya tidak menggunakan pengendalain secara kimia yang menggunakan pestisida, karena akan meninggalkan residu pada kacang tersebut. Residu pestisida tersebut akan berbahaya bagi kesehatan manusia.